Masih ingat dalam benak ketika semalaman aku menjaga ibu yang sakit
keras, satu minggu sebelum menghadap sang Khaliq. Waktu itu dibulan
puasa semalaman, betapa sedih aku melihat mata beliau yang terpejam,
raut wajah yang pucat dan kurus. Sesekali tangan kurus yang ditusuk
jarum infus digerakkan secara tidak sadar. Malam itu rasanya begitu
lambat berjalan, sambil sering sekali
kutengok selang infus yang tiba-tiba darah sudah naik ke ujung atas
selang, dengan gupuh kubetulkan selang dan alat pengatur tetesan infus
supaya air infus bening lagi. Aku begitu takut terjadi apa-apa dengan
ibu, tetapi kutenangkan diriku dengan mencoba berfikir logis bahwa darah
yang naik diselang itu karena tangan ibu banyak gerak. Tak sabar
rasanya menunggu datangnya pagi sampai akhirnya aku tertidur dikursi
ditepi pembaringan ibu.
Hanya sebentar rasanya ketika kubangun
dipagi hari yang kulihat pertama adalah mata ibu apakah masih terpejam,
alhamdullilah ibu sudah membuka mata sambil sesekali merintih dalam
sadar, aku tertegun dalam bersyukur, sampai ibu menyapaku lirih
"Kapan tekamu"
"wingi sonten ibu" jawabku terharu
"Karo sopo" tanya ibu lagi
"Kalih dik Effi kalih Lina"
"Endi ibu pengin weruh LINA" ibu menanyakan mereka
Aku terus pergi ke dapur menyuruh mereka menemui ibu, kukatakan kalau
ibu sudah sadar, ingin ketemu. Segera kami kembali ke Kamar ibu. Ibu
kelihatan senang dan sejenak bisa melupakan sakitnya melihat mereka
berdua. Aku keluar kamar meninggalkan mereka.
Dua hari saya
menginap di rumah orang tuaku di desa, sampai saatnya pagi jam 09.00
kami berpamitan harus pulang ke Probolinggo karena ada pekerjaan yang
harus diselesaikan. Sungguh dalam fikiran saya ibu akan baik-baik saja,
setelah melewati kritis semalam. Kelihatannya ibu begitu berat
"kok ora suk minggu ae mulih, rung mari kangen" kata ibu
"yo aku mulih disik kapan ngono balik mulh maneh" jawabku
"Yo wis sing ngati-ati"
Selanjutnya Bergantian aku mencium tangan ibu yang kurus dan lemas,
kemudian istriku, Lina di cium pipinya oleh ibu segera kami berpamitan
dengan keluarga yang lain.
Seminggu setelah saya pulang ke
Probolinggo siang hari, hari sabtu seperti disambar petir saya dapat
kabar dari Trenggalek bahwa ibu telah menghadap Allah dan di kuburkan
nanti sore setelah asar. Saya hanya bisa jawab "ya saya segera berangkat
tetapi kalau memang tidak nutut waktunya ya sudah di tinggal saja",
saya tahu kalau ini musim hujan, semakin cepat dikuburkan semakin baik.
Sungguh aku menyesal tidak bisa menangkap firasat kalau ibu akan segera
pergi jauh secepat itu sehingga aku waktu itu tidak menunda pulang ke
probolinggo. Maafkan aku ibu, maafkan kedua orang tuaku ya ALLah,
berikan mereka kebahagiaan diakherat seperti mereka telah membahagiakan
kami anak-anaknya diwaktu kecil dulu.