Minggu, 23 Desember 2012

DRAMA PERINGATAN 10 NOPEMBER

Drama pertempuran jembatan merah dan peristiwa hotel Yamato dimainkan oleh warga SMKN 4 Jember setelah upacara dihalaman sekolah, cukup sukses dan surprise, walau latihan hanya satu hari dihari jumátnya.
Drama ini disutradari oleh pak Taruna guru kersenian SMKN 4 Jember bersama Sunyoto kepala SMKN4 Jember. Komentar para siswa ini pertama kali disekolah ini dan perlu diagendakan setiap tahun, yah mudah-mudahan.

MENGENANG IBU DIHARI IBU

Masih ingat dalam benak ketika semalaman aku menjaga ibu yang sakit keras, satu minggu sebelum menghadap sang Khaliq. Waktu itu dibulan puasa semalaman, betapa sedih aku melihat mata beliau yang terpejam, raut wajah yang pucat dan kurus. Sesekali tangan kurus yang ditusuk jarum infus digerakkan secara tidak sadar. Malam itu rasanya begitu lambat berjalan, sambil sering sekali kutengok selang infus yang tiba-tiba darah sudah naik ke ujung atas selang, dengan gupuh kubetulkan selang dan alat pengatur tetesan infus supaya air infus bening lagi. Aku begitu takut terjadi apa-apa dengan ibu, tetapi kutenangkan diriku dengan mencoba berfikir logis bahwa darah yang naik diselang itu karena tangan ibu banyak gerak. Tak sabar rasanya menunggu datangnya pagi sampai akhirnya aku tertidur dikursi ditepi pembaringan ibu.

Hanya sebentar rasanya ketika kubangun dipagi hari yang kulihat pertama adalah mata ibu apakah masih terpejam, alhamdullilah ibu sudah membuka mata sambil sesekali merintih dalam sadar, aku tertegun dalam bersyukur, sampai ibu menyapaku lirih
"Kapan tekamu"
"wingi sonten ibu" jawabku terharu
"Karo sopo" tanya ibu lagi
"Kalih dik Effi kalih Lina"
"Endi ibu pengin weruh LINA" ibu menanyakan mereka
Aku terus pergi ke dapur menyuruh mereka menemui ibu, kukatakan kalau ibu sudah sadar, ingin ketemu. Segera kami kembali ke Kamar ibu. Ibu kelihatan senang dan sejenak bisa melupakan sakitnya melihat mereka berdua. Aku keluar kamar meninggalkan mereka.

Dua hari saya menginap di rumah orang tuaku di desa, sampai saatnya pagi jam 09.00 kami berpamitan harus pulang ke Probolinggo karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Sungguh dalam fikiran saya ibu akan baik-baik saja, setelah melewati kritis semalam. Kelihatannya ibu begitu berat
"kok ora suk minggu ae mulih, rung mari kangen" kata ibu
"yo aku mulih disik kapan ngono balik mulh maneh" jawabku
"Yo wis sing ngati-ati"
Selanjutnya Bergantian aku mencium tangan ibu yang kurus dan lemas, kemudian istriku, Lina di cium pipinya oleh ibu segera kami berpamitan dengan keluarga yang lain.

Seminggu setelah saya pulang ke Probolinggo siang hari, hari sabtu seperti disambar petir saya dapat kabar dari Trenggalek bahwa ibu telah menghadap Allah dan di kuburkan nanti sore setelah asar. Saya hanya bisa jawab "ya saya segera berangkat tetapi kalau memang tidak nutut waktunya ya sudah di tinggal saja", saya tahu kalau ini musim hujan, semakin cepat dikuburkan semakin baik. Sungguh aku menyesal tidak bisa menangkap firasat kalau ibu akan segera pergi jauh secepat itu sehingga aku waktu itu tidak menunda pulang ke probolinggo. Maafkan aku ibu, maafkan kedua orang tuaku ya ALLah, berikan mereka kebahagiaan diakherat seperti mereka telah membahagiakan kami anak-anaknya diwaktu kecil dulu.